Ironi Peringatan Hari Antikorupsi: Bupati Ardito Wijaya Hadir Di Acara Antikorupsi Sebelum Ditangkap KPK

Kamis, 11 Desember 2025

    Bagikan:
Penulis: Aqeela Inara
Sehari sebelum ditangkap KPK, Bupati Ardito Wijaya tampak hadir dan berpartisipasi dalam acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, sebuah ironi yang menyoroti jarak antara retorika dan tindakan dalam pemberantasan korupsi. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Lampung Tengah - Sebuah ironi yang sulit dicari tandingannya terjadi pada Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya. Pada Selasa, 9 Desember 2025, ia hadir dan tampak berpartisipasi dalam acara resmi peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diselenggarakan di Nuwo Balak, Gunungsugih. Dalam acara yang bertujuan mengampanyekan nilai-nilai integritas dan pemberantasan korupsi itu, Ardito berada di antara para pejabat dan masyarakat yang mendukung gerakan bersih. Namun, ternyata sandiwara integritas itu hanya bertahan satu hari, karena pada Rabu (10/12/2025) malam, ia sudah terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap pengesahan RAPBD.

Kehadiran Ardito di acara antikorupsi tersebut bukan sekadar formalitas, tetapi kemungkinan merupakan bagian dari agenda publik seorang kepala daerah. Acara seperti itu sering kali diisi dengan pernyataan komitmen, penandatanganan pakta integritas, atau kampanye edukasi kepada masyarakat. Fakta bahwa Ardito bersedia hadir dan mungkin bahkan menyampaikan pidato antikorupsi, menunjukkan betapa ia dapat memainkan peran seorang pemimpin yang bersih di depan publik. Perilaku ini memunculkan pertanyaan tentang kesenjangan yang lebar antara citra yang diproyeksikan dan tindakan nyata di balik layar.

Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK keesokan harinya membuktikan bahwa lembaga antirasuah ini bekerja berdasarkan informasi dan bukti, bukan berdasarkan penampilan atau retorika seorang pejabat. KPK tidak segan untuk menjerat siapa pun, termasuk seorang bupati yang baru sembilan bulan menjabat dan yang sehari sebelumnya masih mengampanyekan antikorupsi. Tindakan tegas ini mengirimkan sinyal kuat bahwa tidak ada orang yang kebal hukum, betapapun tinggi jabatannya atau sehebat apa penampilan publiknya.

Masyarakat yang mungkin melihat atau mendengar keterlibatan Ardito dalam acara antikorupsi tentu merasa dikhianati dua kali. Pertama, atas pelanggaran hukum yang diduga dilakukan. Kedua, dan mungkin yang lebih menyakitkan, adalah atas kemunafikan yang ditunjukkan. Kehadiran di acara tersebut dirasakan sebagai bentuk penghinaan terhadap kecerdasan publik dan pelecehan terhadap semangat peringatan Hari Antikorupsi itu sendiri. Peristiwa ini berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan yang lebih dalam terhadap janji-janji dan kampanye antikorupsi dari para pejabat lainnya.

Ironi ini juga menyoroti sebuah masalah sistemik dalam budaya birokrasi dan politik kita, di mana retorika antikorupsi sering kali hanya menjadi alat pencitraan. Acara seremonial seperti peringatan Hari Antikorupsi Sedunia berisiko kehilangan makna dan kredibilitasnya jika diisi oleh orang-orang yang tidak menjalankan nilai-nilainya dalam praktik. Kasus Ardito Wijaya menjadi pengingat bahwa komitmen antikorupsi harus dibuktikan dengan tindakan konsisten dan transparansi, bukan hanya dengan kehadiran dalam acara seremonial.

Bagi KPK, penangkapan yang terjadi tepat setelah acara antikorupsi bisa jadi merupakan waktu yang disengaja untuk memberikan efek shock therapy yang maksimal. Tindakan ini menunjukkan bahwa pengawasan berjalan setiap saat, dan upaya untuk menutupi pelanggaran dengan pencitraan positif tidak akan berhasil. Efek jera yang diharapkan dari operasi semacam ini tidak hanya untuk pelaku, tetapi juga untuk pejabat lain yang mungkin berpikir untuk melakukan hal serupa.

Dampak dari ironi ini terhadap gerakan antikorupsi di tingkat daerah mungkin akan terasa signifikan. Masyarakat bisa menjadi lebih sinis dan kritis terhadap setiap kegiatan atau pernyataan antikorupsi yang diluncurkan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, ini bisa menjadi momentum bagi elemen masyarakat sipil dan media untuk mendorong akuntabilitas yang lebih nyata, bukan sekadar seremonial. Pemulihan kepercayaan membutuhkan langkah-langkah konkret dan dapat diverifikasi oleh publik.

Pada akhirnya, kisah Ardito Wijaya yang hadir di acara antikorupsi sebelum ditangkap akan tercatat sebagai salah satu babak kelam dalam perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia. Peristiwa ini mengajarkan bahwa pertempuran melawan korupsi adalah pertarungan melawan kemunafikan dan kepura-puraan, di samping tentu saja melawan tindak pidana itu sendiri. Integritas sejati diuji dalam kegelapan saat tidak ada kamera yang menyorot, bukan di atas panggung saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia.

(Aqeela Inara)

Baca Juga: Target 1.100 Kampung: Progres Dan Tantangan Pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.